SUARA NEGERI ■ Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas kecewa dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan industri minuman keras yang masuk kategori usaha terbuka.
“Ini jelas-jelas tampak lebih mengedepankan pertimbangan dan kepentingan pengusaha dari pada kepentingan rakyat,” katanya dalam keterangan yang diterima redaksi, pada Kamis (25/2/2021).
Anwar melihat dengan adanya kebijakan ini tampak sekali bahwa bangsa Indonesia ini dilihat dan diposisikan oleh pemerintah dan dunia usaha sebagai objek yang bisa dieksploitasi bagi kepentingan mendapatkan keuntungan atau profit yang sebesar-besarnya.
“Bukannya pembangunan dan dunia usaha itu yang harus dilihat sebagai medium untuk menciptakan sebesar-besar kebaikan dan kemashlahatan serta kesejahteraan bagi rakyat dan masyarakat luas,” katanya.
“Dengan kehadiran kebijakan ini, saya melihat bangsa ini sekarang seperti bangsa yang telah kehilangan arah, karena tidak lagi jelas oleh kita apa yang menjadi pegangan bagi pemerintah dalam mengelola negara ini,” tambah Anwar.
Semestinya, lanjut Anwar, pemerintah tidak memberi izin bagi usaha-usaha yang akan merugikan dan merusak, serta akan menimbulkan kemafsadatan bagi rakyatnya, tapi di situlah anehnya di mana pemerintah malah membuat kebijakan yang menentang dan bertentangan dengan tugas dan fungsinya tersebut.
“Di mulutnya mereka masih bicara dan berteriak-teriak tentang Pancasila dan UUD 1945, tapi dalam prakteknya yang mereka terapkan adalah sistem ekonomi liberalisme kapitalisme yang bukan merupakan karakter dan jati diri kita sebagai bangsa,” pungkas Anwar Abbas.
Seperti diberitakan beberapa media, pemerintah menetapkan industri minuman keras sebagai daftar positif investasi (DPI) terhitung sejak tahun ini. Sebelumnya, industri tersebut masuk kategori bidang usaha tertutup. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini telah ditandatangani Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku per tanggal 2 Februari 2021.
Lebih lanjut, dalam lampiran III Perpres 10/2021, pemerintah mengatur ada empat klasifikasi miras yang masuk daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu.
Pertama, industri minuman keras mengandung alkohol. Kedua, minuman keras mengandung alkohol berbahan anggur.
Adapun ketentuan untuk berinvestasi di bisnis tersebut adalah penanaman modal baru hanya dapat dilakukan di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan lokal. Penanaman modal tersebut ditetapkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur.
Ketiga, perdagangan eceran minuman keras dan beralkohol. Kempat, perdagangan eceran kaki lima minuman keras atau beralkohol. Namun, ada syaratnya, yakni jaringan distribusi dan tempat harus disediakan secara khusus.
Merujuk Pasal 6 Perpres 10/2021, industri miras yang termasuk bidang usaha dengan persyaratan tertentu itu dapat diusahakan oleh investor asing, investor domestik, hingga koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Namun, investasi asing hanya dapat melakukan kegiatan usahanya dalam skala usaha besar dengan nilai investasi lebih dari Rp 10 miliar di luar tanah dan bangunan. Selain itu, investor asing wajib berbentuk perseroan terbatas (PT) berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Sebagai info, Perpres 10/2021 telah merevisi aturan sebelumnya, yakni Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, Perpres 10/2021 bertujuan meningkatkan daya saing investasi dan mendorong bidang usaha prioritas.
Melalui beleid tersebut, Bahlil juga menyampaikan bahwa investasi tertutup saat ini hanya ada enam, yaitu budi daya industri narkoba, segala bentuk perjudian, penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam appendix/CITES, pengembalian/pemanfaatan koral dari alam, senjata kimia, dan bahan kimia perusak ozon.
“Indonesia tidak boleh, harus jaga moral yang baik. Untuk karang-karang jadi tidak boleh diambil, tapi yang dibudi daya alam boleh,” kata Bahlil saat konferensi pers “Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja dalam Kemudahan Berusaha," Rabu (24/2/2021) (Azwar).