SUARA NEGERI | JAKARTA — Kenaikan harga beras dalam beberapa hari terakhir menunjukkan pentingnya mengamankan kebijakan pangan yang pro-rakyat. Intervensi pemerintah melalui bantuan pangan dan rencana impor mengamankan cadangan pangan pemerintah dinilai sudah di jalur yang benar (on the right track). Namun upaya lebih mendasar dengan menaikkan produksi beras dalam negeri secara signifikan dan meningkatkan kesejahteraan petani ke depannya perlu dilakukan lebih kuat.
Hal tersebut dikemukakan pemerhati pertanian yang juga Dewan Pakar Jaringan Profesional (Japro) Nusantara, Jan Prince Permata, di Jakarta, Selasa (23/1/2024).
“Harga beras medium saat ini mencapai Rp13.260 per kilogram melebihi harga tahun lalu. Bantuan pangan yang dilakukan pemerintah sudah tepat. Namun, supaya tak terulang lagi harga beras naik tinggi dan cadangan pangan pemerintah cukup untuk stok, public policy pangannya perlu diperkuat lagi,” kata Jan Prince Permata, saat dimintai pendapatnya terkait kenaikan harga beras.
Jan menekankan cadangan pangan (stok beras) pemerintah yang cukup jadi kunci pengendalian harga beras. “Cadangan beras pemerintah paling aman sebenarnya 10 persen dari konsumsi. katakanlah sebanyak 2,5 juta ton, atau paling minimal 2 juta ton,” tutur alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
Untuk masa-masa yang akan datang, pemerintah harus mengambil dua langkah penting, secara beriringan dan saling menguatkan yaitu, menaikkan signifikan produksi beras nasional dan memastikan petani beras lebih sejahtera. “Produksi beras bakal meningkat secara kontinu, jika dan hanya jika, petani berasnya sejahtera. Pendeknya sejahterakan petani beras, niscaya produksi beras akan meningkat dan kita tidak perlu impor,” ujarnya.
Jan juga mengingatkan potensi Indonesia menghadapi krisis iklim dan ancaman kekeringan sebagai dampak El Nino yang akan mengganggu produksi padi. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya terpadu menjaga produksi pangan.
“Upaya ini dilakukan berbarengan baik di hulu maupun di hilir,” ucapnya.
Di hulu, sarana produksi pertanian untuk beras harus dipastikan terjamin dan tersedia dengan baik. Beberapa hal yang perlu dilakukan di hulu antara lain: tersedianya bibit padi unggul, pupuk dan pestisida tersedia tepat waktu dan tepat harga, terjaminnya kecukupan air di musim kemarau.
Sementara di hilir, pemerintah memaksimalkan kerja Bulog dan Badan Pangan Nasional sebagai off taker gabah dan beras petani dengan harga terbaik.
“Hasil panen petani harus dibeli Bulog dengan harga terbaik. Bulog sering kalah dari pedagang-pedagang padi yang bermodal besar, karenanya Bulog harus dipersenjatai dengan anggaran yang signifikan,” ujarnya.
Jan juga mengusulkan agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah memfasilitasi pembiayaan/ kredit usaha rakyat terhadap gabungan kelompok tani (gapoktan) yang memiliki lahan 200-300 hektar untuk pengadaan dryer (mesin pengering), penggiling padi atau rice milling unit (RMU) dan packaging hampa.
“Upaya ini diperlukan agar petani bisa mendapatkan nilai tambah dari produksi padi, dengan tidak hanya menjual Gabah Kering Panen (GKP) namun bisa menjual Gabang Kering Giling (GKG) bahkan beras medium juga premium,” jelasnya.
Jan juga mengingatkan pentingnya akurasi data luas tanam, luas panen dan produksi gabah serta beras nasional. “Akurasi dan ketepatan data ini menjadi kunci untuk menentukan public policy pangan, tanpa keragu-raguan,” ujarnya.
Magister Ilmu Ekonomi jebolan IPB University mengusulkan agar diberikan kewenangan penuh Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan pemerintah daerah memperbaiki data produksi beras.
“Libatkan kepala desa dan aparat negara yang ada di desa-desa di bawah koordinasi BPS untuk memperbaiki data produksi padi dan beras agar lebih akurat,” pungkasnya. (by)