SUARA NEGERI | JAKARTA — Saat ini pembahasan revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran masih bergulir di DPR. Meskipun baleid tersebut sudah lebih dari dua dekade, nyatanya rencana pembahasan tentang revisi uu tersebut cukup lama menghiasi diskusi-diskusi pada kelompok-kelompok diluar sana, seperti para praktisi media, pers, akademisi-komunikasi dan lain sebagainya.
Desakan paling penting sebenarnya terletak pada keberadaan media mainstream seperti media streaming youtube, netflix dan platform penyiaran digital lainnya yang telah diakses luas oleh publik, namun belum memiliki cantolan yang jelas dalam UU Penyiaran.
Namun beberapa hari terakhir, publik terutama pemerhati media penyiaran dan pers, seperti tersentak setelah mendapatkan informasi pembahasan revisi uu penyiaran oleh Komisi I DPR RI khususnya terkait Standar Isi Siaran (SIS) tentang batasan, larangan, dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI yang dinilai bertabrakan dengan Dewan Pers.
Dalam draft revisi UU Penyiaran tertanggal 27 Maret 2024 terbaca secara nyata adanya upaya membatasi tugas-tugas jurnalistik dan kebebasan berekspresi secara umum. Tentu ini dapat dibaca betapa pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan kendali penuh dan terkesan mengkrangkeng peran jurnalistik melalui revisi uu penyiaran tersebut.
Rio ramabaskara, Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara, yang juga merupakan Seorang Praktisi Hukum ini turut memberikan tanggapan atas keriuhan media massa dalam 2 hari terakhir.
Menurutnya, kebebasan berekspresi untuk menyampaikan pendapat dimuka umum dan mendapatkan akses informasi yang benar dan berkualitas merupakan hal yang dijamin konstitusi serta bagian dari hak asasi manusia.
Dan salah satu elemen penting yang konsisten melaksanakan hal tersebut adalah pers, lanjut Rio.
Pers yang merupakan pilar keempat demokrasi dan lazimnya praktik dinegara modern manapun, porsi mengenai kebebasan pers diberikan sangat luas, bukan malah dipreteli.
Rio menegaskan, sangat disayangkan misalnya peran jurnalistik dalam melakukan investigasi harus dihilangkan. Saya malah menduga, ini seperti ada pergerakan sistematis untuk membungkam peran-peran penting dan strategis jurnalistik terutama agar upaya mengadvokasi kasus-kasus hukum atau kasus korupsi yang besar dan melibatkan para petinggi negara dan penguasa, tidak lagi dapat dilakukan secara bebas, independen dan transparan. Singkatnya revisi pada poin tersebut akan membuka ruang-ruang praktik kompromistis yang pada akhirnya mengkhawatirkan jurnalistik, tutup Rio. (*by)