SUARA NEGERI | SURABAYA — Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (Wantimpres RI), Dr H Soekarwo SH, M.Hum mengatakan, konstruksi konstitusi UUD 1945 merupakan landasan kebijakan publik negara kesejahteraan Indonesia.
Fondasi awal dari konsep negara kesejahteraan Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Hal ini dikemukakan Soekarwo saat memberikan kuliah “Transformasi Kebijakan Publik dan Kebijakan Privat Dalam Memperkuat Negara Kesejahteraan” di Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, pada Sabtu (22/6/2024).
Soekarwo menjelaskan, derivative yuridis negara kesejahteraan Indonesia memiliki substansi dan pesan nilai inklusifitas yang membuka ruang dan peluang yang sama untuk seluruh masyarakat, terutama kelompok masyarakat lemah, miskin, dan tak berdaya.
“Pesan nilai inklusifitas itu terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 mengenai perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Kemudian pada Pasal 34 terkait kesejahteraan sosial. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan,” ujar Pakde Karwo, panggilan akrab Soekarwo.
Gubernur Jawa Timur 2009-2019 ini menjelaskan, terdapat empat peran utama pemerintah dalam merumuskan kebijakan untuk pembangunan dan pengelolaan ekonomi.
Pertama, distribusi kebijakan pemerataan sumber daya.
Kedua, kebijakan alokasi sumber daya termasuk penyediaan barang dan jasa publik.
Ketiga, stabilisasi. Melakukan intervensi fiskal untuk makro ekonomi, termasuk pengendalian infasi.
Keempat, regulasi. Mengatur perlindungan konsumen dan produsen.
Menurut Pakde Karwo, perumusan kebijakan publik dalam pengelolaan ekonomi memerlukan pondasi kuat yang melibatkan partisipasi rakyat, yang didalamnya terdapat harmonisasi kultur juga religi.
“Perumuskan kebijakan itu harus membuka ruang publik, suara warga di dengar, rembug dan musyawarah dihidupkan,” ujarnya.
Di sisi lain, kebijakan publik juga harus memiliki paradigma berkeadilan dan kemitraan (partnership).
“Untuk kelompok miskin dan lemah harus ada kebijakan afirmatif, memberikan empowering produktif kepada kelompok miskin. Untuk kelompok produktif yaitu UMKM harus diberikan stimulasi seperti kredit dengan bunga terjangkau, standardisasi produk untuk daya saing dan memperluas akses pemasaran online/offline dalam maupun luar negeri. Untuk segemen ekonomi besar kebijakan bisa memberikan fasilitasi seperti public private partnership, forum bisnis dan infrastruktur berkualitas,” jelasnya.
Pakde Karwo menambahkan, pertumbuhan ekonomi merupakan instrumen yang paling kuat (powerfull) dalam mengurangi kemiskinan, namun harus diingat bahwa pertumbuhan tinggi akan memberikan dampak ketimpangan. Untuk itu diperlukan kebijakan publik yang mendukung kebijakan privat yang utamanya ditujukan untuk melindungi kelompok-kelompok miskin, rentan miskin dan kelompok lemah.
“Kebijakan publik yang mendukung kebijakan privat itu dilakukan dengan melakukan pemerataan aksesibilitas terhadap kegiatan ekonomi dan mengurangi ketimpangan akibat pertumbuhan ekonomi,” kata Pakde Karwo.
Kuliah umum ini turut di hadiri Direktur Sekolah Pascasarjana Unair Prof Dr. Badri M, Wakil Direktur 1 Prof Dr. Rudi Purwono SE, M. SE; Wakil Direktur 2 Prof Dr. Sri Pantja Madyawati, drh, M.Si; dan Wakil Direktur 3 Prof Dr. Suparto Wijoyo, SH, MHum, juga para mahasiswa Sekolah Pascasarjana Unair. (rls/by)