CLOSE ADS
CLOSE ADS

Sejarah 27 Juli Berdarah

SuaraNegeri.com
28 Juli 2024 | 12:34 WIB Last Updated 2024-07-28T05:40:54Z

Banyak yang tidak tahu dan memahami kenapa 27 juli 1996 menjadi peristiwa berdarah penyerangan terhadap kantor DPP PDI di jl Diponegoro, Jakarta. Banyak pelajaran yang dapat dan harus diambil oleh para pemimpin dan rakyat Indonesia, terutama kaum nasionalis di Indonesia yang pada umumnya hampir melupakan peristiwa tersebut.

Lahirnya oposisi terhadap orde baru

Bermula dari Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Asrama Haji Sukolilo di Surabaya yang dimulai tanggal 2 Desember 1993. Pada waktu itu pemerintah orde baru telah merencanakan pemilihan pengurus dan ketua yang terdiri dari boneka boneka politik yang nurut kepada rezim orde baru. Melalui aparat supra struktur politi (ABRI, Pejabat Daerah, Kementerian Dalam Negeri dan lembaga intelijen) mereka mengawal kongres agar berjalan lancar sesuai dengan skenario tersebut yaitu memilih Budi Hardjono sebagai Ketua Umum PDI dan mengisi kepengurusan PDI dengan orang orang yang dianggap binaan dan boneka rezim.

Diluar skenario ternyata Megawati Soekarnoputri dapat masuk ke arena kongres dan menjadi utusan resmi Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Jakarta Selatan. Itupun setelah melalui rintangan rintangan terjal yang berupaya menggagalkan kehadirannya.

Seperti ditakuti oleh rezim orde baru, ternyata para utusan akar rumput kongres mendukung Megawati untuk menjadi Ketua Umum melalui proses pemilihan langsung, melawan rencana pemerintah untuk membentuk formatur yang akan memilih ketua umum.

Mengalami tekanan yang cukup besar dari peserta kongres akhirnya pemerintah melakukan skorsing acara pemilihan ketua dan dibiarkan tanpa adanya ketua umum terpilih. Para panitia dan petinggi partai hilang dan kongres diamankan oleh aparat.

Pada hari terakhir kongres tgl 6 Desember para ketua 27 DPD dengan persetujuan DPCmemilih Megawati menjadi Ketua Umum. Kemudian Megawati tampil menyatakan diri sebagai Ketua Umum de Facto PDI yang tidak diakui oleh pemerintah.

Dalam ketidak pastian nasib PDI, pemerintah berupaya terus menghadang Megawati menjadi ketua umum PDI, karena keberadaannya dapat membahayakan “stabilitas keamanan” keberlangsungan pemerintahan Soeharto yang akan melaksanakan Pemilihan Umum ditahun 1997. Singkat cerita Megawati harus dihadang dan tidak boleh memimpin PDI.

Untuk melanjutkan pemilihan kepengurusan pimpinan PDI, harus diselenggarakan Munas Partai, yang juga diupayakan oleh kepengurusan DPP PDI sementara yang dipimpin oleh Latief Pudjosakti yang didukung pemerintah untuk menguasai keberlangsungan munas pada tanggal 22 Desember 19193. Timbul ketidak pastian karena kepengurusan lama sudah kadaluarsa pada saat Kongres Luar Biasa selesai.

Dalam kekacauan tersebut, dengan bantuan perwira muda ABRI, Agum Gumelar dan A.M. Hendropriyono, seluruh DPD dan DPP sementara sepakat menyelenggarakan Munas pada Rabu siang 22 Desember 1993 yang semula direncanakan di Kopo, Puncak, Bogor, Jawa Barat, dipindah ke Garden Hotel, Kemang, Jakarta Selatan. Akhirnya pada pukul 22:00 Megawati dipilih menjadi Ketua Umum PDI secara aklamasi oleh 52 fungsionaris (ketua dan sekjen) DPD PDI dari 27 provinsi.

Walaupuna terpilih sebagai ketua umum PDI, Megawati tidak leluasa menetukan kepengurusan DPP PDI, dia harus menerima 16 orang fungsionaris yang dikenal sebagai orang binaan pemerintah. Pada waktu itu Megawati hanya mampu memilih Sekretaris Jendral Alex Litaay dan saya sebagai Bendahara Umum (saya ssebagai fungsionaris PDI dan anggota DPR/MPRRI pemilu 1992). Pada waktu itu saya sedang mengendarai mobil dari Boston ke Maine (USA) dan ditelpon oleh Megawati yang mengatakan: “Laks kamu jadi bendahara ya. Saya susah payah memilih orang karena yang disetujui baru dua orang. Kamu dan Alex Litaay!” Mungkin saya dianggap sebagai profesional bankir yang non politik makanya tidak mengancam pemerintah Soeharto.

Setelah kepengurusan terbentuk sebagai tradisi kepengurusan baru partai politik harus sowan kepada presiden Soeharto. Seluruh pengurus DPP PDI diterima di Bina Graha oleh Presiden Soeharto. Saya masih ingat itulah pertama kali saya bertatap muka dan bersalaman dengan presiden Soeharto. Saya perhatikan raut muka nya yang tidak senang dengan Megawati walaupun dia tetap berupaya tersenyum.

Soeharto tidak senang.

Soeharto tidak senang dengan perkembangan tersebut. Oleh karena itu, Agum Gumelar dimutasi menjadi Kasdam Bukit Barisan dan Hendropriyono ke Kodiklat di Bandung. Saya harus berhenti dari Lippobank sebagai Managing Director.

Pada awal 1996 satu tahun menjelang pemilu 1997, dalam rapat pleno DPP PDI, Megawati dihujat oleh 16 orang pengurus DPP yang mendapat perintah dari pembina politik mereka untuk menghujat, mendikreditkan Megawati dan meminta pertanggung jawaban untuk permasalahan yang dicari cari.

Ke 16 orang tersebut akhirnya mendeklarasikan pengurus DPP PDI dengan dukungan pemerintah. Sedangkan Megawati dengan didukung oleh 11 orang pengurus, termasuk saya tetap bertahan dan mendukung Megawati walaupun banyak ancaman yang dilakukan oleh suprastruktur pemerintah.

Sejak itu PDI terbelah dua, rezim orde baru sudah tidak sabar karena pemilu yang akan dilaksanakan tinggal satu tahun lagi. Megawati harus diturunkan dari ketua umum PDI.

Didukung oleh ABRI, birokrat dan seluruh supra struktur politik pemerintah, ke 16 orang yang membelot tersebut mengadakan Kongres dengan ketu panitia Fatimah Ahmad salah satu dari 16 aanggota DPP PDI yang menghujat Megawati.  

Gayung bersambut, rekayasa semakin kentara. Rencana kongres untuk menggusur Megawati langsung direncanakan di Medan pada tgl 20 Juni 1996. Nampak jelas bahwa eksekusi kongres direncanakan oleh supra struktur pembina politik nasional. Pangab Jendral TNI Feisal Tanjung tegas menyatakan dukungannya. Kasospol ABRI Letjen Syarwan Hamid langsung terbang ke Medan. Pangdam I Bukit Barisan Mayjen Sudaryanto menyatakan siap mengamankan jalannya kongres. Mayjen Yogie S Memet (Mendagri) menyatakan siap memberi dukungan bantuan dana.

Semua peserta kongres diseleksi dan dikawal oleh aparat menuju lokasi kongres!

Perlawanan rakyat.

Selanjutnya PDI terbelah dua, pendukung PDI Pro Megawati (ProMeg) mulai memberikan perlawanan terutama mempertahankan kantor pusat DPP di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Sementara dua anggota DPP PDI ProMega yaitu Sekertaris Jendral Alex Litaay dan wakilnya Haryanto Taslam telah hilang diculik.

PDI Promeg, melakukan perlawanan melalui penyelenggaraan kegiatan mimbar bebas demokrasi untuk menyampaikan berita dan orasi kepada masyarakat, karena pada saat itu media dikontrol pemerintah dan belum ada sosial media seperti saat ini.

Para pembicara di mimbar bebas tidak hanya dilakukan oleh kader PDI dari seluruh Indonesia yang datang, akan tetapi juga diidi oleh tokoh tokoh perlawanan terhadap rezim orde baru, seperti Ali Sadikin, Aburrahman Wahid (Gus Dur) anggota Petisi 50, Adnan Buyung Nasution, aktivis buruh Mokhtar Pakpahan, Budiman Sudjatmiko sebagai ketua Partai Rakyat Demokratik  dan dedengkot PDI seperti Sutardjo Suryoguritno, Abdul Madjid, Sabam Sirait, Sophan Sophiaan, Sukowaluyo Mintorahardjo dan banyak lagi kader kader PDI lainnya yang datang dari daerah.

Saya sebagai bendahara umum partai harus menyediakan logistik yang pada umumnya didapat dari sumbangan sukarela masyarakat yang hadir.

Suatu hariketika saya didaulat untuk pidato, saya menyaksikan banyak orang berambut cepak dan sibuk mencatat. Mereka membaur dengan masa. Saya mulai curiga bahwa mimbar ini dan suasana dikantor DPP dimonitor dengan ketat.

Ternyata keesokan harinya pada tanggal 27 Juli pagi dini hari saya ditelpon oleh wartawan asing yang mengatakan kantor PDI di jalan Pangeran Diponegoro no 58 sudah terbakar!

Banyak kader kader PDI yang sedang berada dikantor luka parah, darah berceceran dan banyak orang yang hilang tidak menentu.

Pada saat penyerangan terjadi tidak ada upaya pengamanan atau pertolongan dari aparat pemerintah khususnya ABRI, yang pada waktu itu Pangdam Jaya dijabat oleh Letjen Sutiyoso.

Dari sejarah proses sebelum peristiwa 27 Juli berdarah dapat disimpulkan bahwa sangat kasat mata kehadiran Megawati dalam politik Indonesia tidak disukai orde baru. 

Korban korban penyerangan peristiwa berdarah 27 Juli 1996 hanya dapat membentuk Forum Keluarga Korban FKK 27 Juli yang saat ini tidak mendapat perhatian. Mereka bukan menjadi pahlawan yang terlupakan akan tetapi pahlawan yang dilupakan.

Pelanggaran terhadam HAM yang sistimatis oleh sebuah rezim pemerintah masih tetap menjadi misteri dan tidak dapat diproses dengan transparan. Walaupun merupakan rahasia umum.

Bahkan PDI P dibawah kepemimpinan Megawati ditahun 2003 memberikan dukungan kepada Letjen Sutiyoso sebagai Gubernur untuk periode kedua kali melalui pemilihan di DPRD.
Case closed!

Laksamana Sukardi

Disadur dari buku: “Dibalik Reformasi 1998” Catatan pribadi Laksamana Sukardi.
Penerbit Buku Kompas.



Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sejarah 27 Juli Berdarah

Trending Now

Iklan