Keputusan PKS untuk bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta 2024 mendapatkan respon negatif, terutama pemilih setianya di Jakarta.
Deklarasi kandidat RK-Suswono yang diusung oleh koalisi ini seolah menjadi penanda perpisahan resmi antara PKS dan Anies Baswedan, figur yang selama ini menjadi simbol harapan bagi pemilih PKS di Jakarta. Pertanyaan besar yang muncul adalah, apakah si orange bisa berubah menjadi biru?
Sebagian besar pendukung PKS masih menginginkan Anies Baswedan melanjutkan kepemimpinannya di ibu kota. Namun, keputusan PKS untuk bergabung dengan KIM Plus, yang justru berseberangan dengan Anies, dinilai sebagai langkah yang berisiko.
Keputusan ini mengundang kritik keras dari pemilihnya, yang merasa dikhianati oleh partai yang selama ini mereka percayai.
Bergabungnya PKS dengan KIM Plus memunculkan wacana di kalangan pemilihnya bahwa langkah ini adalah bentuk "toxic demokrasi" dimana kepentingan partai lebih diutamakan daripada aspirasi rakyat. Keputusan ini dapat merusak kepercayaan pemilih terhadap PKS dan menciptakan jarak yang semakin lebar antara partai dan konstituennya.
Di tengah kekecewaan sebagian besar pendukung PKS, putusan Mahkamah Konstitusi No.60/PUU-XXII/2024 memberikan harapan baru. Putusan ini memberikan ruang bagi partai politik untuk meninjau ulang strategi dan aliansi politiknya, terutama di Jakarta.
Dengan adanya keputusan ini, peta politik Jakarta diprediksi akan berubah secara signifikan, termasuk sikap partai-partai yang tergabung dalam KIM Plus.
Dengan perkembangan politik yang cepat, tidak menutup kemungkinan bahwa pasangan RK-Suswono yang diusung oleh KIM Plus bisa gagal berlayar bersama. PKS, yang dalam koalisi ini posisinya menjadi tidak relevan.
Pertanyaan selanjutnya adalah: partai mana yang akan terlebih dahulu melompat dari kapal KIM? Apakah PKS akan mempertahankan posisinya, atau justru mengikuti arus untuk bergabung dengan PDIP dan Anies Baswedan? Dinamika politik ini akan sangat menentukan peta kekuatan politik di Jakarta, menjelang hari pemilihan.
Pada akhirnya, masa depan PKS di Jakarta dan di kancah nasional akan sangat tergantung pada bagaimana mereka menyikapi situasi ini. Apakah PKS akan tetap setia pada keputusan politiknya saat ini, atau akan mendengarkan suara rakyat—suara arus bawah—yang selama ini menjadi basis kekuatannya?
Dalam politik, suara rakyat adalah segalanya. Partai politik sejati adalah yang mendengarkan aspirasi konstituennya, bukan yang mengabaikan suara arus bawah demi kepentingan jangka pendek. Apakah PKS akan mendengarkan suara tersebut, atau akan tetap mencoba menjadi "biru"? Kita tunggu langkah selanjutnya.
Penulis:
Ya' Bayu Anggara
Sekjen Persaudaraan Pemuda Islam