Oleh: Johny Latuheru
OPONUS (Opini Orang Nusantara)
Turbulensi politik sejak Pemilu 2024 dimulai nampaknya semakin berguncang.
"Akrobatik politik" banyak dipertunjukan para pemain, peminat dan pengamat politik.
Hal yang mustahil bisa jadi "hil yang mustahal" yang kemudian mau tidak mau, suka tidak suka harus ditelan masyarakat sebagai sebuah produk Demokrasi.
Terkini, kita memasuki Turbulensi sebuah Partai Politik senior, salah satu yang tertua sejak jaman Orde Baru yang hanya terdiri dari 3 partai saja. Partai Golongan Karya (Golkar) berlambang pohon Beringin memang sebuah pohon legendaris, kokoh, berakar kuat dan berkarakter. Partai Golkar bukan kaleng-kaleng, bahkan menjadi "induk" dari lahirnya partai-partai yang hari ini menjadi partai besar di parlemen.
Tapi bukan berarti Golkar bebas dari Turbulensi, lepas dari dinamika politik, termasuk dalam hal suksesi kepemimpinan.
Sejumlah nama diproyeksikan masuk bursa calon Ketua Umum Partai Golkar untuk menggantikan Airlangga Hartarto yang telah mengundurkan diri.
Dalam publikasi pengunduran dirinya, Airlangga beralasan mundur demi menjaga keutuhan Golkar dan stabilitas masa transisi pemerintahan dari era Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Prabowo Subianto. (Agak sedikit sumir dan ambigu dalam menterjemahkanya memang).
Munculnya beberapa nama seperti Waketum Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita, Bambang Soesatyo, Kahar Muzakir hingga Menteri Investasi Bahlil Lahadia yang digadang jadi penggantinya.
Merambah berdasarkan AD/ART Partai Golkar, yang salah satu syarat menjadi Ketum adalah pernah menjadi pengurus DPP satu periode (5 tahun) dan atau pernah menjadi pengurus di DPD I.
"Syaratnya kan menjadi seorang pengurus 5 tahun untuk bisa menjadi calon Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar, sedangkan statement Bang Idrus Marham menyatakan bisa melalui tayangan media," tanya penulis dalam hati.
Kini Plt Ketum Golkar telah terpilih, Agus Gumiwang didapuk menahkodai proses pemilihan Ketum yang definitif.
Selamat & sukses.
Akankah terjadi akrobatik politik yang "berbau" tidak sesuai dengan AD ART?
Kita tunggu episode selanjutnya.
Salam Demokrasi. (*)