Penulis: Ya' Bayu Anggara (Sekjen Persaudaraan Pemuda Islam)
Dalam sebuah tindakan yang dapat disebut sebagai pengkhianatan terhadap demokrasi, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tampaknya telah "mengakali" putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya menjadi penyelamat demokrasi kita. Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 yang bertujuan memperbaiki tatanan politik dengan memberikan ruang bagi putra-putri terbaik bangsa untuk bisa ikut dalam kontestasi Pilkada justru dilangkahi dengan cara yang sangat manipulatif.
Baleg DPR, dengan cerdik namun memalukan, menginterpretasikan putusan tersebut hanya berlaku untuk partai-partai yang tidak memiliki kursi di legislatif, meninggalkan ruang bagi partai besar untuk terus mendominasi tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyat yang lebih luas.
Langkah ini tidak lain merupakan pembunuhan terhadap demokrasi yang coba diselamatkan MK. Demokrasi, yang seharusnya menjadi wahana untuk memperjuangkan kepentingan rakyat secara adil dan terbuka, kini terancam oleh keangkuhan elit-elit politik yang terus menantang kehendak rakyat.
Mereka memperlihatkan sikap tanpa malu yang seolah-olah mengatakan bahwa suara rakyat hanyalah alat untuk memenangkan pemilu, bukan sesuatu yang harus dijaga dan dihormati sepanjang waktu.
Di tengah kegelisahan ini, rakyat mulai bergerak dengan semboyan Darurat Demokrasi. Simbol burung garuda dengan latar belakang biru menjadi tren di media sosial, mencerminkan kegeraman terhadap prilaku elit politik yang terus-menerus mengabaikan suara rakyat.
Perlawanan ini bukan hanya simbolis, melainkan sebuah gerakan nyata yang mengingatkan kita semua bahwa demokrasi adalah milik rakyat, bukan hanya para penguasa.
Kini, harapan rakyat berada di pundak Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai penyelenggara Pilkada 2024, KPU harus menunjukkan keberpihakan kepada kehendak rakyat, bukan mengikuti jejak DPR dalam mempecundangi demokrasi.
KPU harus ingat bahwa mereka adalah garda terakhir dalam menjaga integritas proses demokrasi di Indonesia. Apakah mereka akan berpihak pada rakyat, atau justru ikut-ikutan dalam permainan kotor para elit?
Kita tidak boleh lupa bahwa demokrasi ini diperjuangkan dengan darah dan air mata, terutama saat peristiwa 1998 yang menjadi titik balik dalam sejarah bangsa. Konstitusi yang selama ini menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara kini terancam oleh tindakan-tindakan yang berusaha mengakali dan melawan prinsip-prinsip demokrasi.
Keangkuhan elit politik ini harus dibendung dengan terus menyuarakan perlawanan. Demokrasi harus dikembalikan kepada rakyat, di mana suara rakyat menjadi yang utama, bukan kepentingan segelintir orang yang hanya memikirkan kekuasaan semata.
Peristiwa ini tidak boleh menjadi preseden buruk bagi masa depan. Kita telah melalui proses transisi kepemimpinan nasional dengan baik, dengan terpilihnya Pak Prabowo sebagai presiden yang baru. Jangan sampai legitimasi rakyat yang mendukung proses ini dilemahkan oleh perilaku dungu yang hanya merusak tatanan demokrasi.
Masih ada waktu bagi elit-elit politik untuk kembali ke jalur yang benar, jalur yang setia kepada konstitusi dan kehendak rakyat Indonesia. Jangan biarkan tindakan ini menjadi noda hitam dalam perjalanan demokrasi kita yang telah susah payah diperjuangkan. Demokrasi bukanlah milik mereka yang berkuasa, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia. (*)