Pilkada serentak 2024 di Indonesia menjadi peristiwa yang tidak terduga dan penuh kejutan, bukan karena dinamika kompetisi yang biasanya kita harapkan, tetapi karena ketiadaan kompetisi itu sendiri.
Tahun ini, elit partai politik tampaknya telah berhasil mengkonsolidasikan kekuatan mereka sedemikian rupa sehingga tidak ada ruang bagi pertarungan politik yang sesungguhnya.
Koalisi besar yang dibangun oleh hampir semua partai politik telah menciptakan situasi di mana calon-calon potensial lainnya enggan, atau bahkan takut, untuk menantang dominasi koalisi besar tersebut.
Konsolidasi elit ini terutama terjadi di daerah-daerah yang memiliki populasi padat dan merupakan pusat-pusat ekonomi penting di Indonesia, seperti Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Daerah-daerah ini bukan hanya sekadar wilayah administratif, tetapi juga merupakan jantung dari dinamika politik dan ekonomi nasional. Oleh karena itu, ketika tidak ada kompetisi dalam Pilkada di wilayah-wilayah strategis ini, dampaknya akan sangat besar, baik terhadap kualitas demokrasi lokal maupun terhadap stabilitas politik nasional.
Fenomena ini mengkhawatirkan karena mengancam esensi dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang sehat membutuhkan kompetisi yang terbuka, di mana berbagai calon dengan ide dan visi yang berbeda bersaing untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Namun, ketika kompetisi ini hilang, kita kehilangan satu mekanisme penting untuk memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan rakyat, dan bukan hanya dikuasai oleh segelintir elit politik.
Ketika elit partai politik berkonsolidasi untuk mengamankan kemenangan tanpa kompetisi, mereka sebenarnya sedang merusak fondasi demokrasi. Konsolidasi ini tidak hanya membungkam suara-suara alternatif, tetapi juga menciptakan kondisi di mana kebijakan publik cenderung diambil tanpa pertimbangan yang mendalam. Tanpa adanya oposisi yang kuat, proses pengambilan keputusan menjadi tertutup dan tidak transparan, sehingga berpotensi mengarah pada kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Namun, ancaman terhadap demokrasi tidak berhenti di situ. Elit partai politik yang terfokus pada kepentingan mereka sendiri sering kali mengabaikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Mereka lebih memilih untuk mengamankan kekuasaan daripada mendengarkan suara rakyat. Akibatnya, masyarakat merasa terpinggirkan dan tidak lagi percaya bahwa keterlibatan mereka dalam politik akan membawa perubahan.
Kondisi ini menciptakan siklus yang berbahaya: ketika masyarakat merasa tidak diakomodasi, mereka cenderung menarik diri dari kehidupan politik. Partisipasi yang rendah ini semakin memperkuat cengkeraman elit politik, yang kemudian semakin bebas bertindak tanpa pengawasan dan tanpa perlu mempertanggungjawabkan kebijakan mereka kepada rakyat.
Keadaan ini memperburuk masa depan demokrasi Indonesia. Ketika elit politik beroperasi tanpa kontrol dan masyarakat menjadi apatis, kita menghadapi risiko serius dari pemerintahan yang tidak akuntabel dan kebijakan yang tidak mencerminkan kepentingan publik.
Demokrasi yang seharusnya menjadi alat untuk mencapai keadilan sosial berubah menjadi sekadar alat bagi segelintir elit untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Pilkada serentak 2024 seharusnya menjadi ajang untuk memperkuat partisipasi rakyat dan memperdalam demokrasi lokal. Namun, jika tren konsolidasi elit ini terus berlanjut, kita berpotensi menghadapi masa depan di mana demokrasi hanya menjadi formalitas belaka, tanpa makna yang sesungguhnya.
Untuk itu, kita perlu menyadari bahwa demokrasi membutuhkan keterlibatan aktif dari seluruh elemen masyarakat. Elit politik harus mulai mengakomodasi aspirasi rakyat dan membuka ruang bagi kompetisi yang sehat.
Masyarakat, di sisi lain, harus tetap berperan aktif dan tidak menyerah pada apatisme. Sebab, tanpa keterlibatan rakyat, demokrasi tidak akan pernah berfungsi sebagaimana mestinya.
Pilkada 2024 adalah cermin dari kondisi demokrasi kita saat ini. Jika kita ingin menjaga dan memperkuat demokrasi Indonesia, kita harus menolak praktik konsolidasi elit yangmenghapuskan kompetisi, serta mengembalikan suara rakyat sebagai elemen utama dalamproses politik.
Demokrasi tanpa partisipasi rakyat adalah demokrasi yang kehilangan jiwanya. Dan jika kita tidak bertindak sekarang, masa depan demokrasi Indonesia bisa berada dalam bahaya besar.
Penulis: Ya’ Bayu Anggara
Sekjen Persaudaraan Pemuda Islam
Kornas Generasi Indonesia Berani (GIBRAN)