SUARA NEGERI | JAKARTA — Prof. Dwikorita Karnawati mengatakan, kita tidak tahu apakah Megathrust terjadi 2025, Wallahu alam ya, tapi kita harus siap.
Hal itu disampaikan Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam acara webinar 'Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi' yang ditayangkan kanal resmi Teknik Geofisika ITS, dikutip pada Rabu 29 Januari 2025.
Profesor Geologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana dari UGM ini menyebutkan, gempa megathrust Selat Sunda bukan mustahil terjadi, oleh sebab itu BMKG jauh hari sudah sampaikan kepada Pemerintah Daerah dan pihak terkait agar melakukan antisipasi dan kesiapan.
Menurutnya, sejumlah pemodelan yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), guncangan gempa diskenariokan (bisa) mencapai Magnitudo 8,7.
Dari hasil pemodelan BMKG tersebut, dapat diprediksi wilayah yang akan terkena dampak guncangan gempa itu adalah Banten, Jakarta, Jawa Barat, Lampung, dan Sumatera Selatan dengan intensitas V-VII MMI dengan deskripsi terjadi kerusakan sedang-berat.
Ia menambahkan, skenario model gempa megathrust Selat Sunda ini dilengkapi dengan skenario model tsunami, dengan ketinggian di atas 3 meter.
"Bisa 10 meter lebih, belasan meter, bahkan mungkin 20 meter. Yaitu di Pantai Selat Sunda, Banten, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bengkulu. Teluk Jakarta juga kena, tapi hanya sekitar 50 cm, sekitar itu," ungkapnya.
Guna mengantisipasi dampak dari megathrust, BMKG pun melipatgandakan peralatan yang dibutuhkan untuk sistem peringatan dini, terutama tsunami.
"Megathrust benar-benar kami jaga, kita lipatkan jumlah sensornya. Dan kita juga sedang siapkan sistem peringatan dini gempa bumi, sedang dalam proses penyiapan, dan bekerja sama dengan Taiwan," imbuhnya.
Selain di megathrust Selat Sunda, BMKG juga melakukan pemodelan gempa dahsyat di megathrust Mentawai-Siberut dengan skenario guncangan mencapai Magnitudo 8,9.
"Jika terjadi, guncangan itu diprediksi akan berdampak ke Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, sebagian Riau, Bengkulu, dan Sumatra Utara, mencapai skala intensitas VII-VIII dengan deskripsi terjadi kerusakan berat," kata dia.
"Dan ini sudah disampaikan kepada Pemerintah Daerah dan pihak terkait. Skenario model tsunaminya juga sudah disampaikan. Ketinggiannya bisa lebih dari 3 meter di Pantai Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, dan sebagian Bengkulu dan Sumatra Utara," pungkasnya.
Lebih lanjut Ia memaparkan, kejadian gempa bumi di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Dia pun mengingatkan pentingnya pendekatan mitigasi bencana geohidrometeorologi. Tidak hanya gempa bumi dan tsunami, tetapi juga bencana hidrometeorologi yang semakin meningkat akibat perubahan iklim.
Hal ini terjadi karena letak Indonesia berada di pertemuan 3 lempeng utama dunia, yaitu Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia. Selain itu, terdapat 14 segmen sumber gempa subduksi/ megathrust, serta 402 segmen sumber gempa sesar aktif yang sudah teridentifikasi. Juga, masih banyak lagi yang belum teridentifikasi.
"Aktivitas kegempaan yang termonitor BMKG mengalami lompatan. Berdasarkan data aktivitas data gempa jangka panjang, ada pola kejadian gempa di Indonesia terus meningkat setiap tahun," katanya.
"Rata-rata kejadian gempa di tahun 1990-2008 sekitar 2.254 gempa per tahun. Namun, pada 2009-2017 meningkat jadi 5.389 kejadian gempa. Kemudian melompat mulai tahun 2018-2019, bahkan 2020 ya, melompat bahkan 2018 itu 12.062, 2019 itu masih 11.731," bebernya.
Lalu, terjadi lonjakan kejadian gempa yang signifikan di tahun 2024. Tercatat ada 29.869 kali kejadian gempa, dengan jumlah alat kurang lebih sama dengan tahun 2023.
"Poinnya di sini memang terjadi tren peningkatan aktivitas kegempaan. Terutama untuk gempa dangkal ini memang meningkat. Juga ada fenomena patahan-patahan aktif di darat semakin banyak yang jadi sumber gempa," ujarnya.