Penulis : Ketut Rama Withadarma
Mahasiswa S1 Ilmu Politik Universitas Airlangga
Pada 25 Januari 2025 telah terbit Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 yang dimana mayoritas diisi dengan rencana efisiensi anggaran pemerintahan.
Efisiensi anggaran ini ditujukan kepada beberapa lembaga pemerintahan dengan menargetkan 3 hal yaitu Kementerian dalam APBN 2025, APBD 2025, dan Transfer ke Daerah dalam APBN 2025. Setidaknya dalam Efisiensi ini terdapat sekitar Rp. 306 Trilliun Rupiah yang ingin dihemat, dengan perincian Rp. 256 Trilliun untuk Anggaran Belanja Kementerian dan Rp. 50 Trilliun Rupiah untuk Transfer ke Daerah.
Efisiensi ini dilakukan dengan cara para Menteri maupun pimpinan lembaga tidak termasuk belanja pegawai dan belanja bantuan sosial. Dampak besar dari efisiensi anggaran ini tentu saja bagaimana Presiden Prabowo Subianto yang mengangkat 48 Menteri dari yang sebelumnya sekitar 30-an. Tentu saja operasional Kementerian yang dahulu ada akan dipecah lagi ke kementerian yang baru. Misalkan Kemenkumham yang dahulu bisa mengurusi beberapa hal dan kini dipecah menjadi Kementerian Hukum, Kementerian HAM, dan Kementerian Imigrasi Permasyarakatan. Tentu saja ini menandakan bagaimana efisiensi yang ada hanyalah omon-omon, alias memindahkan anggaran yang sudah ada ke kantong lembaga yang baru. Selain itu Pemerintah harus membagi anggaran dekonsentrasi yang baru untuk lembaga kementerian yang baru hingga ke daerah-daerah seperti kantor wilayah.
Pembicaraan tersebut baru berupa struktural kelembagaan, belum masuk kepada tunjangan baru para pembantu Presiden. Bayangkan saja terdapaat 48 Menteri, serta 56 Wakil Menteri yang harus dibayarkan negara untuk tunjangan kinerja mereka. Padahal dibawah Kementerian sudah ada Dirjen yang bertugas untuk mengatur tugas-tugas lapangan Kementerian. Bahkan tidak hanya itu saja, adanya Utusan Khusus Presiden hingga Penasihat Khusus Presiden yang begitu banyak.
Baru-baru ini bahkan adanya pengangkatan baru berupa Staf Kementerian seperti yang terjadi di Kementerian Pertahanan dan para fungsionaris baru di Kementerian seperti di Kementerian Dalam Negeri. Ini menandakan bahwa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan Presiden Prabowo tampaknya membohongi masyarakat dengan dalih “efisiensi”. Karena apa yang terjadi pada pengelolaan keuangan negara kali ini dibawah Inpres tersebut hanyalah memindahkan kantong-kantong anggaran yang ada. Dampak efisiensi anggaran ini tentu melahirkan efek domino luar biasa.
Efek domino yang luar biasa ini pertama-tama terjadi di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Nyaris sekitar 600.000 Mahasiswa yang bisa gagal Kuliah akibat pemangkasan anggaran beasiswa sekitar Rp. 1,4 Trilliun dimana ada yang terancam terlantar di Luar Negeri. Disatu sisi pemerintah masih belum juga membayarkan Tunjangan Kinerja para dosen hingga 5 tahun lamanya. Nampaknya kebijakan pemerintah terhadap pendidikan semakin dilupakan. Apalagi program MBG atau Makan Bergizi Gratis yang dicanangkan nampaknya ugal-ugalan dan membebani anggaran yang ada.
Selain dunia pendidikan, sektor pelayanan publik pun terancam terganggu. Terutama pada Inpres tersebut yang membatasi honorarium yang dimana kita ketahui pegawai honorer dibeberapa tempat memiliki kinerja yang sangat baik tidak kalah dengan ASN. Dampak ini semua tentu saja akan sangat berdampak kepada ekonomi, karena ini sebuah manajemen fiskal yang sangat salah.
Per Januari 2025, Indonesia mengalami inflasi yang sangat kecil yaitu hanya sekitar 0,76%. Disinflasi ini terjadi bukanlah berarti kabar yang semata-mata baik, justru bisa sebaliknya. Secara makro ekonomi inflasi bisa berarti baik karena bisa jadi adanya pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya efisiensi anggaran ini membuat daya beli melemah. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Misalkan terdapat 600.000 Mahasiswa KIPK yang mungkin dulu bisa membeli es teh di sela-sela kuliahnya, kini mereka harus menahan uang tersebut untuk biaya kuliah mereka. Itupun kalau mereka bisa berkuliah. Dengan begitu uang-uang yang berputar untuk masyarakat justru malah semakin melambat, pemasukan UMKM berkurang sehingga terjadinya daya beli masyarakat yang semakin menurun. Tidak hanya itu, pembatasan pegawai honor juga membuat angka pengangguran yang semakin tinggi sehingga menciptakan penurunan daya beli juga. Dampaknya banyak UMKM terancam gulung tikar dan atau bahkan mem-PHK pegawainya. Analogi diatas bisa menjadi gambaran penting bagaimana dampak penyesuaian kebijakan fiskal pemerintah.
Dengan analogi sederhana ini, maka target petumbuhan ekonomi yang tinggi dan rencana Indonesia Emas 2045 menjadi bualan belaka. Bayangkan saja berapa potensi ekonomi hingga sosial 600.000 Mahasiswa yang dikubur sia-sia demi program makan siang, demi bagi-bagi jabatan ke pejabat yang kebijakannya sangat menjerat masyarakat. Pendidikan dikurangkan, penjilat diberi jabatan, dan masyarakat dibodohkan. Kini kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada trial and error tanpa adanya perumusan kebijakan yang baik memberikan dampak negatif secara masif. Sehingga dengan kondisi seperti akan memberikan implikasi sosial-ekonomi yang luar biasa. Demi sebuah anak makan siang, satu keluarga kehilangan seluruh pemasukannya. Sehingga nampaknya inilah Kado Valentine Prabowo untuk rakyatnya yaitu sebuah malapetaka mimpi buruk.
CC: Konten ini telah tayang di Kompasiana.com