SUARA NEGERI | JAKARTA — Bangsa ini semakin terus mengalami defisit demokrasi, untuk itu Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) mendorong para penyelenggara negara menggunakan etika yang bersumber dari Pancasila.
Sistem demokrasi Pancasila yang disusun oleh para pendiri bangsa juga diperuntukkan untuk menegakkan supremasi sipil karena hal itu sangat jelas telah diatur dalam konstitusi.
Hal tersebut terungkap dalam Dialog Nasional yang digelar DPP PA GMNI bertajuk “Etika Bernegara Pancasila” di Sekretariat PA GMNI Jakarta, pada Sabtu (22/3/2025). Perhelatan tersebut sekaligus menyambut Dies Natalis PA GMNI.
Hadir dalam dialog tersebut Ketua Umum PA GMNI Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S, dan Ketua Dewan Kehormatan PA GMNI Siswono Yudo Husodo serta jajaran pengurus PA GMNI. Adapun sebagai narasumber adalah Dr. Sukidi, Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo, M.M.A.S., M.P.A. (Dubes RI untuk Filipina/Gubernur Lemhanas RI 2016-2022); dan Prof. Dr. Franz Magnis Suseno (Guru Besar Emeritus STF Driyarkara).
“Etika bernegara Pancasila. Adalah seperangkat nilai yang mengatur tindakan pejabat negara dan pejabat publik dalam menjalankan tugas keadilan, tanggung jawab sosial, transparansi. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan,” jelas Prof Arief Hidayat saat menyampaikan sambutanya.
Dialog ini juga disiarkan secara daring ke seluruh cabang PA GMNI se-Indonesia.
Menurut Ketua Umum PA GMNI, nilai-nilai ini etika lama-lama telah ditinggalkan. Sebab, Indonesia tidak sekadar negara hukum biasa (common law) tapi negara hukum yang berkeadilan dan berketuhanan yang Maha Esa.
“Karena itu dari sisi kehidupan yang lain dalam berpolitik, ekonomi dan bersosial budaya harus disinari Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanpa mengacu pada agama tertentu. Rule of ethics di atas hukum positif,” jelas hakim konstitusi tersebut.
Sebab, menurut Arief Hidayat, ada kecenderungan seperti yang diungkap di banyak media. Justru negara-negara yang tingkat atheis yang tingkat korupsinya rendah dan berkeadilan dibandingkan negara-negara yang tingkat spritualitasnya tinggi justru kriminalitas dan korupsi tinggi. Termasuk kasus pelanggaran HAM. Ini kenyataan yang berbahaya.
Pengamat kebinekaan Sukidi menilai di saat republik berada dalam kegelapan, maka bangsa ini perlu kembali kepada pemikiran pendiri bangsa. “Bagaimana Bung Karno menyatakan Pancasila sebagai bintang penuntun dalam bersikap berbangsa bernegara. Menjadikan Pancasila sebagai sumber dari etika bernegara,” jelas doktor Harvard University.
Sukidi memaparkan akar-akar kejahatan bangsa ini harus segera diputus. Seperti korupsi dan upaya kekuasaan mengurangi peran supremasi sipil. Sebab, demokrasi harus berdasarkan pada rule of law.
Romo Franz Magnis Suseno menambahkan Indonesia sejak reformasi terus mengalami pembusukan dari dalam dalam. Pengaruh oligarki lebih kuat dibandingkan menjalankan demokrasi yang sesungguhnya.
“Para politisi tidak lagi melayani rakyat, tapi mencari kesempatan memperkaya diri,” ujar Prof. Franz Magnis.
Situasi DPR juga lebih banyak dikuasai dinasti dan partai-partai tidak lagi berorientasi ideologis. Mengingat anggota DPR dikuasai orang kaya dan tidak ada kekuatan oposisi untuk mengimbangi.
Oleh karena itu, Indonesia harus mengembalikan insitusi kekuasaan berdasarkan demokrasi yang bersumber dari Pancasila.
Pada kesempatan tersebut, Letjen (purn) Agus Widjojo menegaskan dalam sistim praktik penyelenggaraan negara, semua lembaga atau pejabat negara harus meletakkan loyalitas untuk menjaga konsitusi.
“Bila presiden dihasilkan oleh pemilu yang konstitusional maka presiden merupakan perpanjangan tangan dari konstitusi yang harus dipatuhi. Bila presiden telah menyimpang maka loyalitas dikembalikan kepada konsitusi,” kata mantan Gubernur Lemhanas tersebut.
Menurut Agus Widjojo tidak ada lembaga atau pejabat negara yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Semua lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus memiliki check and balances. Termasuk menempatkan TNI dan Polri sebagai alat negara yang harus dijaga ahar tidak dipolitisasi.
Pada kesempatan yang sama, Abdy Yuhana, Sekretaris Jenderal DPP PA GMNI juga mengingatkan, tanpa adanya etika bernegara Pancasila dalam penyelenggaran negara, membuat bangsa ini berjalan di tempat, tidak maju dan tidak berkembang. Hal-hal strategis dan mendasar untuk kemajuan bangsa terhambat, sementara bangsa-bangsa lain bergerak menuju kemajuan. Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh visi negara serta keteladanan penyelenggara negara dalam menaati konstitusi dan menjunjung tinggi moral etika kehidupan berbangsa dan bernegara. (R/02)